Di Mancanegara, Jabatan Kurator Museum Begitu Bergengsi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPeran kurator demikian besar, namun profesi ini belum dihargai di Indonesia.
Di negara kita boleh dibilang mencari museum yang baik cukup sulit. Apalagi kalau mencari museum ideal. Museum ideal harus memiliki sejumlah persyaratan, yang berinti pada dana dan tenaga.
Buat museum-museum pemerintah, masalah pendanaan cukup mudah karena didukung oleh APBN atau APBD. Sebaliknya masalah akan timbul pada museum-museum swasta atau pribadi.
Namun sampai berapa lama museum swasta atau museum pribadi mampu bertahan, inilah yang kita belum tahu. Di Indonesia tercatat sudah beberapa museum nonpemerintah mati karena ketiadaan dana, contohnya Museum Adam Malik di Jakarta.
Dua tahun lalu telah keluar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2015 (PP Nomor 66/2015) tentang Museum. Banyak hal diungkapkan peraturan itu. Misalnya pasal 11 ayat 1 menyatakan pemilik harus menyediakan sumber daya manusia untuk mengelola museum. Sementara pasal 11 ayat 2 menyatakan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit terdiri atas kepala museum, tenaga teknis, dan tenaga administrasi.
Istilah kepala museum tentunya sudah jelas. Ia mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap seluruh proses pengelolaan museum. Ia pun harus mempunyai jiwa kepemimpinan. Yang dimaksud dengan tenaga teknis adalah register atau registrar, kurator, konservator, penata pameran, edukator, serta hubungan masyarakat dan pemasaran. Sementara yang dimaksud dengan tenaga administrasi adalah tenaga yang melaksanakan pekerjaan ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, keamanan, dan kerumahtanggaan.
Dalam prakteknya banyak museum belum memiliki tenaga seperti itu. Umumnya tenaga yang ada memiliki pekerjaan rangkap, misalnya kurator merangkap konservator. Di antara sejumlah tenaga teknis, yang menjadi ujung tombak museum adalah kurator.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kurator memiliki pengertian ‘pengurus atau pengawas museum (gedung pameran seni lukis, perpustakaan, dsb)’. Sementara itu Undang-undang Cagar Budaya 2010, mendefinisikan kurator sebagai orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.
Keahlian kurator disesuaikan dengan koleksi yang ada pada suatu museum. Sebagai misal, museum uang harus memiliki kurator yang tahu banyak tentang numismatik atau museum satwa yang mesti mempunyai lulusan zoologi.
Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Cagar Budaya 2010, mengatakan museum merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Dikatakan lagi, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan koleksi museum berada di bawah tanggung jawab pengelola museum. Dalam pelaksanaan tanggung jawab itu, museum wajib memiliki kurator.
Idealnya kurator dimiliki sendiri oleh setiap museum. Namun jika belum mampu, museum boleh mengangkat kurator dari kalangan pengamat dan akademisi dengan sistem kontrak kerja.
Seorang kurator harus aktif dalam bidang yang menjadi kewenangannya. Bahkan harus mengetahui pasar, kode etik, dan hukum tentang pengumpulan barang antik atau barang seni. Lebih jauh kurator bertugas menjaga, mengumpulkan, menata, memeras informasi, dan menentukan koleksi apa saja yang boleh ditampilkan dalam pameran tetap atau pameran temporer museum.
Pada prinsipnya, seorang kurator museum membantu registrar sejak sebuah artefak terdaftar sebagai koleksi museum hingga dihapuskan (kalau ada) sebagai koleksi museum. Selain bersifat ilmiah—ciri khas pekerjaan seorang peneliti—seorang kurator harus mampu melakukan pekerjaan administrasi.
Jelas peran kurator demikian besar. Keberhasilan museum menjadikan koleksinya sebagai daya pikat pengunjung terletak pada kreativitas kurator dalam mengangkat nilai dan informasi dari koleksi museum. Contohnya keberhasilan Museum Louvre di Prancis dalam menginformasikan Lukisan Monalisa. Menurut Annissa M. Gultom, arkeolog muda yang pernah belajar ilmu permuseuman di mancanegara, keberhasilan Museum Louvre bukan semata-mata peran kurator. Ada juga bagian pemasaran, komunikasi, dan merchandising.
Sudah saatnya para kurator bersama tenaga teknis lain di Indonesia bisa melahirkan gagasan baru yang membuat masyarakat tertarik berkunjung ke museum. Kurator pun bersama konservator harus mampu mengubah aturan baku museum, misalnya dari ‘dilarang pegang’ menjadi ‘silakan pegang’ koleksi. Kurator memberi usulan dan konservator memberi keputusan akhir. Kurator juga harus mampu memilih maskot atau ikon utama museum karena ini menyangkut segi promosi. Masyarakat umum juga bisa memberi masukan kepada pihak museum, koleksi-koleksi yang mereka anggap adikarya.
Di mancanegara, jabatan kurator museum begitu bergengsi. Bahkan nama kurator lebih dikenal daripada nama kepala museumnya. Berbagai ensiklopedia dan buku-buku laris, mampu dihasilkan para kurator. Demikian pula film-film sebagaimana tayangan Discovery Channel atau National Geographic Society, umumnya melibatkan kurator museum.
Ajeng Arainikasih, dosen ilmu permuseuman di Departemen Arkeologi FIB mengatakan, banyak museum lokal di Australia pegawainya cuma kepala museum. Yang bantu museum semua voluntir, mereka benar-benar kerja gratis. Tentu saja kepala museum harus mengerti ilmu permuseuman yang kemudian diaplikasikan oleh para voluntir itu. Makin besar museum, makin banyak voluntir. Kurator pun kerja bareng edukator, desain interior, pemasaran, dan lainnya.
***
DJULIANTO SUSANTIO, Pemerhati Sepurmu (Sejarah, Purbakala, Museum)

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Di Mancanegara, Jabatan Kurator Museum Begitu Bergengsi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBArtikel Terpopuler